Aku menutup jendela kamar untuk dapat
berkonsentrasi pada lukisanku, tak lama sebelum matahari terbenam,
ketika tiba-tiba pintu terbuka dan temanku datang ke ruangan tempatku
bekerja. Pada saat memasuki ruangan, ia berjalan lurus ke dinding
seberang dan duduk jongkok di lantai. Aku menyadari bahwa aku harus
memberinya beberapa makanan untuk menghormati kedatangannya. Aku
menyalakan lampu dan masuk ke ruangan gelap yang terbuka. Aku mencari di
setiap sudut dengan harapan akan menemukan sesuatu yang dapat
kutawarkan untuknya, meskipun aku tahu tak ada lagi yang tersisa.
Tiba-tiba
ujung mataku menangkap sesuatu, dan seolah-olah memperoleh ilham,
aku mendekatinya. Pada rak yang terpaku di dinding berdiri sebotol
anggur tua peninggalan masa laluku. Aku tidak pernah mengingat dan
telah sepenuhnya lupa bahwa ada benda seperti itu di rumah ini. Untuk
mencapai rak, aku berdiri di kursi yang kebetulan ada di sana. Ketika
ku sampai di botol itu, aku kebetulan melihat keluar melalui lubang
ventilasi di rak. Di tanah terbuka di luar ruangan, aku melihat seorang
lelaki duduk di kaki pohon cemara membungkuk d ihadapan seorang gadis
muda - tidak, seorang malaikat dari surga – yang berdiri di depannya.
Dia membungkuk dan dengan tangan kanannya ia menawarkan bunga berwarna
biru.
Gadis itu tepat menghadapku, tapi ia tampaknya
tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Dia menatap lurus ke depan tanpa
melihat sesuatu yang istimewa. Di bibirnya tersungging senyum samar,
tak sadar - seolah-olah ia sedang memikirkan seseorang yang tidak
hadir. Saat itulah aku pertama kali merasakan kehadirannya, mata sihir
yang menakutkan, mata yang tampaknya digunakan untuk mengekspresikan
kepahitan terdalam yang pernah dirasakan oleh manusia. Mata yang
menjadi cerminan jiwaku dan seolah menarik jiwaku ke padanya dengan
kekuatan tak terbayangkan. Seolah-olah ia telah melihat hal-hal buruk,
transendental, yang telah diberikan kepada siapa pun kecuali untuk
melihat. Tulang pipinya menonjol dengan dahi yang tinggi. Alis ramping
bertemu di tengah. Wajahnya pucat seperti bulan, dibingkai dalam jilbab
yang menyisakan hitam rambut yang acak-acakan dengan alur tunggal yang
menempel di dahi. Kehalusan tubuh dan gerakannya ditandai sebagai
salah satu yang tidak ditakdirkan untuk hidup lama di dunia ini. Tak
seorang pun kecuali seorang penari yang dapat menyamai karunia yang
dimilikinya, gerakan tubuh yang harmonis.
Udara disekitarnya
penuh dengan aroma sukacita dan kesedihan yang berbaur hingga
membuatnya berbeda dari manusia biasa. Kecantikannya luar biasa.
Mengingatkanku tentang sebuah pemandangan yang hanya dapat ku peroleh
melalui mimpi terindahku.
Dia mengenakan gaun hitam yang menempel
erat di tubuhnya. Menatapnya, aku yakin dia ingin melompat ke sungai
yang memisahkannya dari lelaki itu, tapi ia tak mampu melakukannya.
Tiba-tiba-tiba lelaki itu tertawa. Tertawa dengan hampa, sumbang,
dengan kualitas yang membuat bulu roma berdiri, keras dan suram serta
mengejek. Namun ekspresi wajahnya tidak berubah. Seolah-olah tawa itu
menggema di suatu tempat jauh di dalam tubuhnya. Dalam ketakutan, aku
melompat dari kursi dengan botol tetap di tanganku. Gemetar aku dalam
keadaan takut bercampur senang, aku meletakkan botol anggur di lantai
dan memegang kepala dengan kedua tangan. Entah berapa lama aku tetap
seperti itu, aku tidak tahu. Ketika aku tersadar kembali, aku mengambil
botol dan kembali ke kamar. Temanku telah pergi dan meninggalkan pintu
terbuka seperti mulut menganga orang yang telah mati. Suara tawa
kosong dari lelaki itu masih bergema di telingaku.
Hari mulai
gelap. Lampu peneranganpun mulai dipasang. Aku telah bisa menyesuaikan
diri kembali dari rasa gemetar yang diakibatkan peristiwa yang
kusaksikan melalui lubang tersebut. Sejak saat itu hidupku mulai
berubah. Dengan pandangannya yang berasal dari langit, gadis itu telah
meninggalkan jejak keberadaannya tertanam lebih dalam di pikiranku.
- END -
By : Herman
0 komentar:
Post a Comment