Sebuah renungan yang berangkat dari rasa sakit
yang sanggup membawaku memasuki sebuah situasi sakral yang misterius.
Sesuatu yang berangkat dari prasangka bahwa aku, alam semesta dan seluruh isinya bukanlah apa-apa,
terutama pada saat semuanya tenggelam di dalam kesunyian yang tunggal dan utuh.
PROLOG
Lelaki
itu pergi seolah lenyap begitu saja dalam gelap. Ia seperti hendak
menegaskan bahwa tiap jenis kepergian selalu mengejutkan, dan membuat
tak siap mereka yang ditinggalkan. Ibu dan ayahnya, kakak dan
teman-teman dekatnya tak begitu sadar bahwa mereka akan betul-betul
kehilangan seperti siang itu, ketika bis pelan-pelan merayap dari
stasiun.
Ini perpisahan dramatis, serius dan intens, terutama karena penyebabnya – sang pelaku utama
– lelaki yang belum pernah melangkah lebih jauh daripada batas kota
tempat ia dibesarkan. Ia masih terlalu mudah untuk tidak hilang ditengah
keriuhan kota besar yang belum tentu punya hati.
Tapi ini yang
tak diketahui orang ; ia menggenggam erat tekad besar, yang membuatnya
selalu merasa tak ada yang pantas dicemaskan. Ia menyimpan keyakinan itu
sebagai kebenaran yang pelan-pelan akan membuktikan dirinya. Maka ia
masih menganggapnya rahasia, yang tak patut diceritakan pada siapapun.
Bahkan tidak juga pada ibu atau ayahnya sendiri.
Di dalam bis,
lelaki itu menerawang jauh ke Bandung. Pikirannya hanya berisi Bandung
dan masa depannya yang masih gelap, yang pelan-pelan sedang dia ‘lukis’
dalam benaknya secara abstrak. Dia sedang ‘membentuk’ hari esoknya
sendiri.
Sawah, petani, tanaman, burung-burung kuntul yang putih
mulus, kali, bukit-bukit, pepohonan, air, sungai kering, batu-batu
hitam, lembu, kambing, jembatan, mobil-mobil dan sepeda, gerobak dan
pejalan kaki, yang hanya nampak selintas karena bis yang ditumpanginya
melaju begitu cepat dan semuanya berubah menjadi bayangan Bandung yang
menyala, terang benderang dengan lampu-lampu neon seperti dalam gambar
yang pernah dilihatnya di suatu buku, yang ia tak ingat lagi buku apa.
Pikiran
lelaki itu menerawang jauh ke dunia yang tak dikenalnya, dan berganti
dari satu imajinasi ke imajinasi lainnya secara bebas dan leluasa.
Dunia khayal dan dunia nyata ia campur aduk begitu rupa. Dan ia yakin
betul bahwa mimpinya ini tak akan menjadi sekedar mimpi. Ia sedang
memaparkan pilihan-pilihan yang dianggapnya cocok dengan hati dan daya
dukung pemikirannya. Ia tak merasa dirinya sedang melamun.
Tapi
tentu saja, kalau kecamuk dalam jiwanya ini dikatakan pada orang lain,
boleh jadi dia akan dicemooh. Tapi lelaki ini tak peduli. Dan dia
yakin, di dalam bis ini, selain dirinya, ada pula orang-orang lain,
yang juga sedang melukiskan mimpinya dan menempatkannya di langit biru,
dekat bintang-bintang dan bulan. Dengan begitu ia tak bermimpi
sendirian. Ia punya teman.
Aku bisa menuliskan kisah ini sampai
ke detail-detailnya yang paling dalam dan pribadi, yang akan mustahil
diketahui orang lain, bukan karena aku ibarat bulan yang selalu
mengintip rahasia malam dan rahasia pribadi yang dikisahkan di malam
hari, melainkan karena lelaki itu adalah aku sendiri, dan aku kan menuliskan tentangnya untukmu.
Aku
sebenarnya ragu menuliskan semua ini. Jangankan untuk menulis,
mengingatnyapun aku sebenarnya enggan. Ada kegetiran jika harus
mengingat, apalagi menuliskan semua apa yang telah kualami selama ini,
karena sesuatu yang kubawa dalam saku kehidupanku adalah gambaran nyata
sebuah kematian dalam hidup. Namun Jika kehidupan akan berakhir pada
sebuah kematian, maka apa yang bisa kupersiapkan sebagai bekalku
menyambut gerbangnya..... ? Karena itu kutulis cerita hidupku ini dan
berharap dapat memberikanmu perjalanan hidup yang belum tentu kau
dapatkan. Aku tidak berfikir kalau ini suatu kelemahan atau
pengelakan... tetapi mungkin kebajikan terakhir.... yang ingin aku
persembahkan kepadamu.
By : Herman
0 komentar:
Post a Comment